Sudah sebulan lamanya kabut asap dari aktivitas kebakaran hutan dan
lahan di Riau tidak kunjung menipis. Bahkan Minggu (23/2/2014) sore
kabut asap tebal masih menyelimuti kota Pekanbaru dan sekitarnya. Jumlah
titik
api yang terpantau oleh
satelite
seperti yang dilaporkan kepada media memang fluktuatif setiap harinya
namun asapnya seakan tak habis-habisnya. Apa yang terjadi pada kebakaran
hutan kali ini?
Data yang diolah Greenpeace
Indonesia
setidaknya bisa menjawab pertanyaan di atas dan mengungkapkan bagaimana
peta dampak kebakaran hutan kali ini. Dari data yang diterima Mongabay
Indonesia mengungkapkan sejak awal tahun ini hingga pertengahan Februari
lalu, setidaknya tercatat 2.140 kejadian titik api di Riau. Dan lebih
dari setengah dari jumlah kejadian itu justru terjadi pada minggu ke dua
Februari yang mencapai 1.086 titik api.
Analisis Spasial Titik Api di Provinsi Riau Minggu II Februari 2014. Sumber: Greenpeace
“Bayangkan setengah dari jumlah titik api tahun ini terjadi di satu
minggu saja. Dan 95 persen dari titik apinya itu terpantau di gambut.
Jadi maklum saja walau jumlah titik api naik turun belakangan ini, tapi
selama tidak ada pemadaman di gambut, maka luasan kebakaran di gambut
itu akan terus bertambah,” kata Rusmadya Maharuddin, Jurukampanye Hutan
Greenpeace kepada
Mongabay-Indonesia.
Ia menjelaskan, di bulan Januari hanya terdapat 337 kejadian titik
api di tujuh kabupaten. Namun angka ini meningkat dua kali pada minggu
pertama Februari yang mencapai 714 titik api di 11 kabupaten/kota.
Jumlah ini kembali berlipat pada minggu ke dua Februari dengan
total 1.089 kejadian di 11 kabupaten kota.
Sumber: Greenpeace
Namun setelah dianalisa, maka sebagian besar titik api pada minggu
pertama Februari berada dekat dengan lokasi titik api pada bulan
Januari. Demikian juga peningkatan titik api di minggu kedua Februari
memiliki pola yang sama yakni terpantau di dekat titik api minggu
sebelumnya.
“Ini bisa dikatakan titik-titik api itu sejak Januari masih terus
membara. Mungkin karena yang terbakar itu adalah gambut. Mungkin lidah
api di permukaan gambut tidak terpantau, tapi pada saat yang sama bara
di dalamnya terus menjalar dan menjadi sekam. Dan api gambut di dalam
ini akan kembali membesar jika ada angin yang berembus,” ujar Rusmadya.
Ia menjelaskan kebakaran di gambut akan berdampak jauh lebih buruk
daripada kebakaran di lahan non gambut. Sebab gambut itu sendiri
memiliki fungsi penting bagi ekosistem dan kemampuannya menyerap karbon
jauh lebih besar. Maka kebakaran gambut yang berakhir pada
kehancurannya juga akan berdampak jauh lebih buruk lagi bagi lingkungan.
Sumber: Greenpeace
Analisa titik api pada minggu kedua Februari mengungkapkan bahwa
jumlah titik api kali ini lebih banyak terjadi di hutan sekunder (338
titik api) dibandingkan hutan
primer
yang hanya 10 titik api. Sementara sebanyak 741 terjadi di wilayah non
hutan. Dari seribu lebih titik api itu, sebanyak 181 berada di lahan
konsesi perkebunan sawit milik perusahaan besar dan 277 terpantau di
konsesi hutan tanaman industri.
Namun jika dilihat dari status apakah titik api itu terdapat di
daerah yang dilindungi dalam peta indikatif Moratorium Kehutanan, maka
sekitar 38% atau sebanyak 414 titik api terjadi di wilayah moratorium.
“Padahal kawasan hutan yang masuk dalam moratorium harusnya dilindungi,
tetapi di lapangan tidak terjaga dengan baik dan kini malah terbakar,”
ujar Rusmadya.
Lalu bagaimana dampak titik api itu terhadap
habitat
satwa langka? Keberadaan titik api dianalisa dengan peta habitat, maka
sebanyak 857 kebakaran itu terjadi di habitat Harimau Sumatra dan
sisanya 253 berada di luar habitat. Dalam angka yang berbeda, bencana
ini juga diyakini menjadi ancaman serius bagi habitat Gajah Sumatra dan
satwa lainnya.
Kebakaran hutan awal tahun ini adalah tekanan yang luar biasa bagi
harimau Sumatra yang berdasarkan data pemerintah terakhir jumlah
individu di alam liar hanya 400 ekor. Padahal ekspansi perkebunan sawit
dan HTI lima tahun terakhir telah nyata mendorong satwa dilindungi ini
ke jurang kepunahan.
Selain melakukan analisa peta, Greenpeace juga melakukan pengecekan
di lapangan yang dilakukan pada pekan lalu. Menurut Rusmadya, sejauh
mata memandang, bekas hutan dan lahan yang tahun lalu terbakar hebat,
kini telah menjelma menjadi perkebunan sawit baru. Setidaknya ini
terlihat di perbatasan wilayah Bengkalis dan Rokan Hulu.
Sumber: Greenpeace
“Memang tidak semua yang terbakar tahun lalu telah menjadi kebun.
Tapi sebagian besarnya telah jadi kebun baru. Ini bisa dikatakan
indikasi bahwa kebakaran hutan dan lahan itu memang bagian dari upaya
persiapan lahan baru untuk perkebunan sawit. Kami melihat banyak
bibit-bibit sawit yang baru ditanam dan berusia kuran dari satu tahun.
Di kebun-kebun itu juga telah berdiri pos-pos sekuriti,” katanya.
Menurutnya, jika memang kebakaran hutan ini adalah bagian dari
persiapan lahan, maka ini adalah dugaan jelas bahwa kebakaran itu
sengaja dilakukan. Dan harapan masyarakat adalah pemerintah saat ini
benar-benar menegakkan hukum tanpa mengumbar janji lagi.
Ia mengakui saat ini memang ada pejabat perusahaan perkebunan yang
disidang untuk kasus kebakaran lahan, namun merurut Rusmadya ini belum
cukup. Sebab pemerintah banyak menyebut nama-nama perusahaan yang diduga
bertanggungjawab atas titik api di dalam konsesinya tahun lalu, namun
hingga sekarang baru satu yang diajukan ke pengadilan.
“Padahal regulasi kita jelas mengatur bahwa pemegang hak atau izin
bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
Pemerintah harusnya bisa gampang menekan jumlah kebakaran lahan di
konsesi perusahaan dengan undang-undang yang kita miliki,” tegas
Rusmadya.