Haji ibadah wajib bagi umat Islam. Penyempurna rukun Islam. Berkumpul jutaan muslim dari seluuh dunia. Berpadu dalam lautan takbir, tahlil, tahmid. Haji cermin persatuan dan kesatuan umat Islam.
Namun apa yang terjadi kini? Baru saja, seorang jamaah Mesir dan keluarganya dideportasi. Setelah sebelumnya ditangkap askar, hanya karena mendoakan kebinasaan kepada para penguasa zhalim. Seakan mendoakan binasa bagi para zhalimin, adalah bid'ah, haram, dan tidak diajarkan baginda Rasulullah saw.
Begitulah. Jika dahulu seorang muslim berhaji mampu menguak makna dari inti semua ibadah dalam kehidupan. Ia pulang menjadi pejuang kemerdekaan untuk bangsanya, setelah ia berhasil memerdekakan diri dari belenggu ketakutan. Ia sukses membebaskan diri dari penghambaan terhadap manusia, berganti pada penghambaan mutlak pada Rabb manusia dan seluruh semesta, Allah Ta'ala.
Makna ini telah sirna. Berhaji sama dengan meningkatkan status sosial. Berhaji terbatas pada ritual di Masya'ir Al-Haram. Di luar itu, semua berjalan seperti dalam nuansa AS. Minum kopi di Starbucks, minuman dingin Pepsi-Coca Cola, belanja asesoris dari Swiss. Maka yang berubah hanya menambah asesoris peci putih, tanpa mampu memutihkan hati, watak, dan tabiat seperti putihnya salju.
Di sini saya memahami. Berhaji erat kaitannya dengan visi-misi penyelenggara haji. Berawal dari travel, KBIH, hingga pemerintah. Sayangnya, pemerintah penyelenggara haji saat ini, sudah menahbiskan diri sebagai Khadimul Haramiyain As-Sakarain (Pelayan Dua Maling Mabuk), yaitu AS dan Inggris. Wajar slogan berubah; "Khidamatul Hujjaj Fuluusun Lana" (Melayani jamaah haji, sumber uang bagi kami). Semoga para jamaah haji terutama dari Indonesia, bisa meraih makna terdalam dari ibadah yang dilakukan. Wallahu A'lam.
By : Ust Nandang Burhanuddin